Part I : AYAH

img
Namaku adalah Ryan Carlo S. Aku anak tunggal dan lahir di Medan-Sumatera Utara. Aku menuntut ilmu di salah satu Sekolah Dasar Swasta. Ayahku bekerja di salah satu organisasi kecamatan. Dia mungkin sosok Ayah impian bagi setiap anak, dan mungkin akulah yang beruntung karena memiliki dia sebagai Ayahku. Setiap pagi aku bersemangat bangun dari tempat tidurku lalu bergegas untuk pergi ke sekolah karena Ayah. Setiap pagi Ayah selalu mengantarkanku hingga ke pintu gerbang sekolah dan menjemputku saat aku pulang sekolah.
Kehidupan tidak selalu dalam peristiwa kebahagiaan. Suatu pagi aku merasakan ada yang berbeda dan membuatku tidak semangat seperti biasanya. Ayahku jatuh sakit dan di rawat disalah satu Rumah Sakit swasta kota Medan. Selama ayah sakit, aku pergi dengan teman yang diantar dan di jemput oleh supirnya setiap hari.
“Kring…Kring…” terdengar suara telpon rumahku. Aku bergegas menerima telpon itu “hallo..”
“Sayang, ini mama..” sahut Ibuku dari seberang telpon itu,
“Bagaimana keadaan papa.? Sudah sembuh yah ma?? “ sahutku dengan harapan bahwa Ayah telah sembuh.
“Belum, sayang..! Papa harus di operasi, karena terjadi pecah pembuluh darah di otak. Mama cuma mau bilang sama kamu.” Sahut mama dengan nada tangis.
“Iyah udah, ma. Operasi aja, biar papa cepat sembuh ..” sahutku sembari mengeluarkan air mata secara perlahan.

Waktu itu aku menangis saat Ibu bilang kalau Ayah harus di operasi. Mungkin orang bilang aku tuh lemah atau orang Medan bilang cengeng, terserah orang mau bilang apa, karena yang hanya bisa aku lakukan saat itu hanyalah berdoa, menangis dan mengikuti perintah mama. Sejak aku kecil, kami memiliki seorang pembantu. Aku panggil bibi padanya. Dia pembantu yang sudah aku anggap sebagai bagian dari keluargaku. Saat ayah di rumah sakit, dialah yang selalu merawatku di rumah.
Saat itu aku duduk di tangga, “Bagaimana yah keadaan Ayah..?” pertanyaan itu terbesit di hatiku. Lalu tiba-tiba telpon rumahku berdering, dan aku pun berlari untuk menjawab telpon itu.
“Hallo..!” sahut ibuku dari seberang telpon.
Gembiranya aku saat itu saat mendengar suara ibu. “Mama…! Bagaimana ayah??” sahutku dengan harapan penuh kalau ayah sembuh.
“Papa udah siuman, sayang..!” sahut ibuku.
“Terus kapan ayah boleh pulang, Ma?” tanyaku dengan girang dan gembira dalam hati.
“Tinggal menunggu kepastian dari dokter, sayang…!” jawab ibuku.
“Semoga papa bisa cepat pulang yah ma..” sahutku dengan harapan.
“Iya. Mama mau kasih kabar aja tadi ke kamu kalau papa udah siuman. Ini mama lagi cari ruangan untuk papa.” Seru ibuku.
“Iya deh ma.” Jawabku.
“ya udah, kamu jangan nakal yah di rumah sama bibi. Mama cari ruangan dulu buat papa.. bye..” jawab ibuku yang sangat bahagia seperti ku saat itu.
Setelah mendengar ayah sudah siuman, aku senang dan semangat untuk mulai bersekolah esok harinya. Aku berharap agar ayah bisa lebih cepat pulang kerumah dan mengantarku kesekolah lagi. Aku senang bila ayah mengantar dan menjemputku kesekolah, hingga aku selalu diejek dengan panggilan “anak ayah” oleh seorang teman perempuanku. Tapi aku tidak marah dengan panggilan itu, aku malah senang karena aku memiliki ayah yang sangat sayang padaku.
Ternyata kepedihan masih belum beranjak dari kehidupan ku. 2 hari setelah ayahku siuman, aku mendengar kabar lagi dari ibu kalau ayah kembali masuk ruangan ICU karena terjadi komplikasi pada organ dalam ayah. Komplikasi penyakit ayahku itu adalah jantung, paru-paru, ginjal, lambung dan hati. Aku sedih dan tidak bersemangat untuk bersekolah. Aku membayangkan bagaimana tidak ibuku sangat bersedih dan tertatih karena 7 Dokter yang menangani ayahku dan tiap dokter dengan resep yang berbeda. 1 resep obat dibeli dengan biaya kurang lebih 1,5 juta dan ada 6 resep obat yang tiap harinya harus dibeli oleh ibu. Dan aku pun membayangkan, begitu menderitanya ayah saat itu, dari dada yang di tembus dengan pipa yang begitu besar dimasukkan semua obat-obatan dengan berbagai macan obat. Meski begitu ibu tidak pernah mengeluh tentang banyaknya biaya yang keluar, yang ada di benak pastilah bagaimana agar ayah cepat sembuh.
Cinta Tuhan pada keluargaku sangat besar, oleh karena itulah mengapa ayah begitu cepat menghadap kehadirat Tuhan. 15 Hari lamanya ayah di rumah sakit dan mungkin itulah akhir dari perjuangan ayah. Ayah meninggal dunia setelah 10 hari dalam masa koma dan komplikasi.
Saat mendengar ayah meninggal dunia aku sangat menangis. Aku tak mengerti mengapa kepedihan sangat membuatku terpuruk saat itu. Saat melihat jenazah ayah, aku meneteskan air mata begitu derasnya. “Ayahku yang selama ini sayang padaku, kini telah meninggalkan keluargaku untuk selamanya..” kalimat itu selalu terngiang di telingaku. Aku bagaikan anak yang sangat terbuang saat itu. Lalu aku melihat dan memandang ibuku yang sedari tadi menangis tiada hentinya, dan aku merasakan ayah berbisik di telingaku dan mengatakan “Jaga dan sayangi ibumu, seperti engkau menyayangi ayah..hibur juga ibumu seperti ayah yang selalu menghibur ibumu…dan jangan pernah buat ibumu menangis, karena air mata yang keluar dari matanya adalah mutiara yang indah dan tak ternilai..!”. Mendengar suara itu aku lansung memeluk ibu dengan eratnya, dan aku berbisik pada ibu “Ayah akan selalu damai disana dan tidak ada lagi rasa sakit yang akan dia rasakan karena dia telah mendengarkan suara cinta dengan damai..”. Ibu lansung memelukku dengan rasa sayang dan cintanya pada satu-satunya buah hati yang dia miliki.

Komentar

Postingan Populer