Part II : Widya

Hari-hari berlalu begitu saja. Ibu sekarang perlahan menjadi sosok ayah juga bagiku. Saat itu aku kelas 1 SMP, kehidupanku pun mulai berubah secara perlahan. Aku sekarang lebih suka menghabiskan waktuku di luar rumah dengan teman-temanku. Karena setiap aku di rumah, aku selalu mendengar suara tangisan ibu dari dalam kamar ibu. Aku sedih melihat ibu terus-terusan menangis, tapi aku juga tidak kuasa dan tidak mau mendengarkan suara tangisan orang yang aku sayangi.
Saat itu aku baru pulang dari luar rumah. Lalu aku mendengarkan ibu menangis terseduh-seduh. Perlahan kuketuk pintu kamar ibu :”tok…tok..tok..” . “Sebentar..” sahut ibu dari dalam kamar. Ibu membuka pintu secara perlahan. Terus ku pandangi pada wajah ibu dengan mata membengkak di wajahnya. “Aku mau bicara sama mama..” ucapku sambil berjalan menuju tempat duduk diruang keluarga.
“Ma, aku cape setiap hari begini. Pulang kerumah selalu mendengar mama nangis didalam kamar. Biarlah ayah bahagia disana. Tangisan mama tidak pernah bisa membuat ayah kembali, dan yang ada membuat mama semakin sakit dan memikirkan tindakan yang tidak wajar..” sahutku sambil memandang wajah mama yang selalu tertunduk kebawah.
“Maaf ma, bukan maksudku untuk memarahi mama. Tapi karena hanya mama satu-satunya yang masih ada disamping ku di dunia ini. Lebih baik mama cari pengganti ayah, supaya mama bisa melupakan ayah secara perlahan. Aku siap menerima ayah baru bagiku.” sahutku meredakan suasana.
“Terserah bagaimana tanggapan mama dan apa yang akan mama lakukan. Aku sebagai anak tidak kuasa memerintah orang tua, dan aku hanya memberikan saran yang menurutku lebih baik..” sahutku sembari berjalan menuju tangga rumahku.
Keesokan harinya saat pulang kerumah, aku tidak mendengar suara ibu menangis. “Sayang, kamu mandi dulu baru makan yah…!” seru ibu yang sedang memasak didapur. Aku tersentak dan terkejut karena mungkin ibu mendengar kata-kataku. “Iyah, ma…!” jawabku sambil menaiki tangga menuju kamar tidurku. Dari saat itu kehidupan kami mulai berubah, dan ibupun mulai kembali mencari pengganti sosok ayah bagiku.
Lingkungan SMP perlahan merubahku, aku mulai mendekati dan menyukai lawan jenisku, dan sering di sebut sebagai cinta monyet. Widya, gadis pintar,cantik dan manis yang berada satu kelas denganku saat itu. Selain Widya cantik dan manis, Widya juga lahir dari keluarga yang kaya. Tapi Widya tidak pernah memamerkan kekayaan orang tuanya saat itu. Widya mungkin sebagai rebutan juga oleh teman-teman 1 kelas ataupun juga kelas lainnya. Setiap hari aku mencari perhatian dari Widya dengan berbagai cara.
Dua bulan sudah aku mendekati Widya, dan sejauh itu aku sudah menerima respon baik dari dia. Aku mulai mencari waktu yang tepat untuk mencurahkan isi hatiku. Saat itu hari sabtu, biasanya hari itu ada ekskul sekolah, yaitu Pramuka. Aku dan widya ikut serta ekskul itu. “Sebelum ekskul dimulai adalah waktu yang tepat. “ seruku dalam hati.
“Kring…Kring…” suara bel sekolah berbunyi, tibalah waktu untuk pulang. Aku segera membereskan buku-buku pelajaranku yang berantakan diatas meja sambil mencari sosok wanita yang sangat aku inginkan menjadi pacar pertamaku itu,Widya. Setelah membereskan buku-buku, aku duduk terdiam ditempat dudukku sembari meletakkan tangaku diatas meja. Aku merasa kegugupan datang menghampiriku. Tinggal aku dan Widya yang masih berada didalam kelas saat itu. “Ryan..!” seru Widya sambil melihat kearahku dari tempat duduknya.
“Iyah, ada apa?” jawabku gugup.
“Kamu kenapa? Kok, ngak keluar cari makan sebelum ekskul? “ tanyanya padaku sambil berjalan menuju arah tempat dudukku.
“Hmmm.., hmmm..,, ng..ng..ngak kenapa kok.” Jawabku menundukkan kepala. Aku merasa gugup sekali saat itu. Perlahan dia menghampiriku, dan duduk disampingku.
“Kamu kenapa? Kamu lagi sakit yah? “ tanya widya sambil memandangku yang gugup.
“Ngak kok..aku cuma.. .. cuma…ngka jadi deh..!” sahutku sembari ingin berdiri.
“Kamu jangan pergi dulu..Aku penasaran..Cuma apa sih.? Bilang dong kenapa..?” tanyanya khawatir sambil menarik lenganku.
Perlahan aku duduk dan mencoba untuk menghilangkan rasa gugup ku. “Aku cuma..cuma.. cuma.. nunggu kamu selesai..” jawabku.
“Loh kok,, emang kenapa kamu nungguin aku?” tanyanya semakin penasaran sambil menatap wajahku.
“Tadinya aku mau ngomongin sesuatu sama kamu, tapi aku takut..” jawabku sambil menatap wajahnya yang cantik.
“Mau ngomongin apa sih? Kok pake takut sih? “ desaknya semakin penasaran.
“Hmmm.. hmmm… aku takut kalau kamu ngak mau anggap aku teman lagi.”sahutku.
“Apapun yang terjadi kita tetap teman kok. Jadi bilang aja, ngak usah takut.” Jawabnya tenangkan aku.
“Oke deh. Hmmmm..hmmmm, aku cuma mau bilang, kalau akuuuu…”. “kamu kenapa??” tanyanya penasaran sambil memotong perkataanku.
“Aku suka sama kamu, wid. Kamu mau ngak jadi pacar aku? Meskipun ini orang bilang cinta monyet.” Seruku gugup sambil memandang wajahnya.
“Hmmm..cuma bilang itu aja pake takut segala.” Serunya. “Apa kamu sayang juga sama aku?” tanyanya tiba-tiba.
“Iyah, aku juga sayang sama kamu wid.” Jawabku tenang karena berpikir kalau dia juga respon dengan apa yang aku bilang.
“Hmmm.. Aku mau kok jadi pacar kamu dan aku ngak anggap ini cinta monyet.” Bisiknya sambil memegang tanganku. Kupeluk erat dia setelah aku mendengar jawaban darinya tepat di telingaku.
“Yuk, kita makan dulu , sayang..sebelum ekskulnya mulai nih..!” serunya.
“Yuk..!” sahutku.
Mulai saat itu aku merasa senang dan bahagia. Semakin hari aku semakin merasa sayang dan tidak ingin dia pergi meninggalkanku. Setiap hari aku menjemputnya dari rumah dan mengantarnya kesekolah. Sepeda motor peninggalan ayah sekarang sudah menjadi kendaraanku setelah aku SMP, dan ibu mengijinkanku memakainya.
Kehidupan cinta pertama ku juga tidak semulus aliran air yang turun dari gunung. Selama aku berpacaran dengan Widya, aku tidak pernah mendengar dia mengeluh dan menceritakan hal yang sedang dia alami. Sore itu, tepat beberapa bulan kemudian hubungan aku dengan Widya 1 tahun usianya.
Seperti hari-hari biasanya setiap pagi aku jemput Widya dari rumahnya, karena perjalananku menuju sekolah selalu melewati rumah Widya. Saat melihat Widya keluar dari rumah, pagi itu dia bagaikan malaikat yang turun dari langit, begitu anggunnya, cantik parasnya, dan manis senyumannya. Melihat Widya pagi itu membuatku semakin bersemangat untuk pergi kesekolah.
Dikelas memang aku tidak satu meja dengan Widya, tapi wajahnya selalu bisa kupandang dari sudut kelas. Aku tak tahu mengapa aku selalu memperhatikan Widya. Aku merasakan risau dan gelisah tentang apa yang akan terjadi hari itu. Seperti biasa aku dan Widya setelah pulang sekolah jika tidak ada ekskul disekolah selalu pergi ke pantai, karena jarak pantai dengan sekolah tidak begitu jauh, hanya 15 menit perjalanan kami. Kami biasanya hanya bermain di pantai, seperti layaknya orang dewasa yang sedang berpacaran. Mengukir nama kami berdua diatas pasir pinggir pantai, tapi setiap aku menuliskan nama Widya diatas pasir, ombak besar selalu menghapus namanya, tidak seperti biasanya, nama kami selalu terukir indah diatas tumpukan pasir tersebut. Tapi yang terlintas di benakku saat itu hanyalah karena mungkin air pantai sedang pasang. Sebelum aku mengajak Widya pulang, dia bertanya padaku “Kamu akan selalu mencintai dan menyayangiku apa adanya kan?”
“Iya sayang, aku selalu mencintaimu dan menyayangimu apa adanya, ngak akan pernah aku nyakiti kamu dan ngak akan pernah ninggalin kamu .” jawabku tegas dan berhenti sejenak di gubug pantai tersebut.
“Aku senang sekali mendengarnya..” jawab dia sambil memelukku erat. “Kamu harus janji yah sama aku, kalau kamu ngak akan pernah nyakiti wanita mana pun dan bukan hanya aku, karena hati setiap wanita itu seperti kapas putih yang jika kamu oleskan tinta hitam, akan meresap kesekitarnya, dan juga takkan bisa diputihkan kembali.” Sahut widya sambil memandang wajahku.
“Iya sayang aku janji, aku ngak akan menyakiti wanita manapun karena aku hanya berharap selalu bersamamu..” sahutku sambil menarik tangannya untuk pergi.
“Aku senang banget punya cowo kaya kamu sayang, yang bisa ngertiin dan menyayangi pacarnya apa adanya.” Sahut widya sambil memelukku erat.
Kami pun pulang dari pantai itu dan aku antarkan Widya hingga kerumah. Dimata orang tua Widya aku sudah dianggap seperti anak mereka, bukan hanya orang tuanya, tapi kakak dan abangnya Widya juga sudah menganggapku adiknya. Widya adalah anak terakhir dari 3 bersaudara.
Waktu itu sudah menunjukkan jam 4 sore, jadi aku bergegas pulang. Sesampainya aku dirumah aku lansung mandi, karena aku merasakan bau yang tak sedap sedang menghampiriku, mungkin karena kami di pantai tadi. Setelah mandi aku lansung kedapur bergegas makan, rasa laparku sudah datang. Sebelum makan, HP ku bunyi, aku lansung keatas untuk menerima panggilan itu sambil membawa makanan yang baru saja ku ambil didapur. Saat melihat nama pemanggil yang tertera tersebut aku terkejut karena itu nama ibu Widya. Tanyaku dalam hati “Ada apa yah?” .
“Hallo tante..” jawabku.
“Ryan, kamu segera kerumah sakit sekarang.” Desak ibu Widya sambil menangis. Lalu tak sengaja piringku terjatuh karena terkejut mendengar ibu Widya yang menangis sambil mendesakku kerumah sakit.
“Iya bu, sekarang saya kesana.” Jawabku tergesa-gesa sambil turun kebawah. Kusuruh si bibi untuk membersihkan lantai kamar ku yang kotor karena pecahan kaca dan taburan nasi tadi. Aku tak memperdulikan seperih apapun rasa laparku, karena aku tak mau terjadi apapun kepada Widya. Saat itu aku tak memperdulikan lagi alamat rumah sakit yang di suruh oleh ibu Widya karena rumah sakit terdekat telah terlintas di otakku.
Sesampaiku di rumah sakit, aku lansung dipeluk erat oleh orang tua Widya. “Apa yang terjadi Bu? Pa?” tanyaku khawatir pada mereka.
“Apa kamu belum tau tentang penyakit yang di derita oleh Widya selama ini?” tanya ayah Widya menangis.
“Dia tidak pernah memberitahukanku apapun pa. Dia tidak seperti orang yang memiliki penyakit, jadi saya tidak pernah curiga dengan penyakit yang dia derita.” Sahutku tegas dan khawatir bercampur dalam hatiku.
“Widya menderita kanker otak keturunan dari neneknya.” Sahut Ayah Widya.
Aku merasa tak percaya ini sedang terjadi, aku duduk dan merenungi yang terjadi hari ini. Hal yang membuatku risau dan gelisah sejak pagi itu terbukti, akan ada hal buruk yang akan terjadi. Air mataku mengikis derai tawaku secara perlahan. Kuterigat pada ibu, lalu ku telpon ibu untuk memberi tahukan kalau aku di rumah sakit. Aku tak menyuruh ibu untuk datang, tapi ibu datang tak lama setelah aku menelpon ibu.
Aku memang mencintai dan menyayangi Widya, tapi aku keadaanku sebagai pelajar memaksaku untuk pergi kesekolah pagi itu. Saat bangun aku lansung teringat akan Widya, lalu aku berdo’a. Dalam do’aku, yang terutama tentang Widya. Aku memohon pada Tuhan tidak mengambil orang yang aku sayangi untuk yang kedua kali. Pagi itu tak seperti biasanya aku menjemput Widya, aku harus berangkat sekolah sendiri. Sesampainya di sekolah teman-teman 1 kelasku melihatku berbeda, karena tidak bersama Widya. Satu persatu mereka datang menghampiriku dan bertanya kemana Widya, lalu jawabanku hanya 1 kalimat kepada mereka :”Widya sedang dirawat dirumah sakit.”. Mereka terkejut dengan jawabanku, dan mereka bertanya lagi mengapa Widya dirawat dirumah sakit. Aku hanya diam tak menjawab pertanyaan mereka dan saat itu pikiranku tak berhentinya memikirkan Widya.
Sudah hampir 2 minggu Widya tak sadar, keadaannya pun tak kunjung membaik. Aku selalu berdo’a dan berharap agar keadaan Widya membaik dan pulih. “see you once agaiinnn, my love….!” Nada panggilan di HPku bunyi waktu itu, setelah kulihat dari ibu Widya, aku lansung menjawabnya.
“Ada apa bu?” jawabku risau terhadap keadaan Widya.
“Kita takkan pernah bertemu dengan Widya lagi, Ryan..!” jawab ibu Widya sambil menangis..
“Apaaaa..? Ngak mungkin, Bu…!” jawabku terpukul karena orang yang aku sayangi kembali diambil oleh Tuhan. Aku lansung pergi ke Rumah Sakit, saat aku sampai kulihat wajah Widya telah di tutupi oleh kain putih dan siap dibawa pulang. Orang tua Widya memelukku erat dan menangis. Air mataku jatuh di derai tawaku, takkan pernah lagi kurasakan sapa manis dan sapa sayang dari Widya. Dia akan pergi untuk selamanya. Takkan pernah terlupakan olehku kenangan manis bersamanya, dan juga nasihat yang sering dia katakan padaku. Selamat jalan Widya yang sangat special di hatiku.
Komentar
Posting Komentar